Merawat Indonesia Melalui Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Tradisi Tahlilan Warga Nahdliyin

Merawat Indonesia Melalui Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Tradisi Tahlilan Warga Nahdliyin


Indonesia adalah negeri yang kaya akan budaya, tradisi, dan nilai-nilai luhur yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam konteks kehidupan keagamaan dan kebangsaan, Nahdlatul Ulama (NU) memainkan peran penting dalam merawat tradisi-tradisi keislaman yang inklusif dan membumikan nilai-nilai Pancasila. Salah satu tradisi yang sangat lekat dengan warga NU adalah tahlilan. Dalam pelantikan Pengurus Cabang NU Kabupaten Temanggung pada 4 Mei 2025, Gus Menteri Sosial Republik Indonesia, Drs. Saefullah Yusuf (Gus Ipul), menyampaikan pesan mendalam mengenai makna tahlilan dalam perspektif Pancasila dan pentingnya menjaga serta merawatnya untuk Indonesia yang majemuk.


Tahlilan sebagai Penjaga Nilai Ketuhanan (Sila Pertama)

Dalam sudut pandang Gus Ipul, tahlilan bukan sekadar ritual doa untuk orang yang telah wafat. Ia adalah medium untuk mengenalkan nilai-nilai Ketuhanan kepada masyarakat secara terus menerus. Kalimat-kalimat thayyibah yang dibacakan selama tahlilan mengandung pengakuan akan keagungan Allah, kerendahan diri manusia, serta keyakinan akan kehidupan setelah mati. Nilai-nilai ini menjadi fondasi spiritual bangsa yang memupuk kesadaran transendental di tengah masyarakat.

Tradisi ini juga melampaui batas-batas eksklusivitas keagamaan. Dalam praktiknya, tahlilan sering diikuti oleh warga dengan latar belakang yang beragam, bahkan lintas iman, yang menunjukkan bahwa nilai Ketuhanan dalam tahlilan bukan hanya bersifat teologis, tetapi juga sosiologis—mewujud dalam sikap saling mendoakan dan menghargai eksistensi sesama.


Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam Praktik Sosial (Sila Kedua)

Gus Ipul menegaskan bahwa tahlilan adalah ruang pembelajaran sosial yang luar biasa. Dalam acara ini, tidak ada sekat antara si kaya dan si miskin. Semua duduk bersama, saling bertegur sapa, menerima dan memberi dengan keikhlasan. Shohibul bait memberikan konsumsi sekadarnya, dan para tamu menerimanya tanpa mengukur dari nilai materi. Inilah wujud kesetaraan hakikat manusia, tempat di mana semua orang dihormati sebagai manusia yang bermartabat.

Tradisi ini menanamkan nilai-nilai penghargaan terhadap sesama tanpa diskriminasi. Di tengah masyarakat yang mulai terpolarisasi oleh perbedaan kelas dan status sosial, tahlilan menjadi pengingat bahwa kemanusiaan harus dijunjung tinggi di atas segala hal.


Persatuan Indonesia melalui Kebersamaan Spiritual (Sila Ketiga)

Dalam tahlilan, ada ruang batin yang saling terhubung. Tidak hanya sekadar kebersamaan secara fisik, tetapi juga kebersamaan spiritual dalam doa. Gus Ipul menyandingkan hal ini dengan semangat Piagam Madinah, di mana keselamatan kolektif menjadi kesepakatan bersama antar kelompok di kota Yastrib (Madinah).

Tahlilan memupuk semangat gotong royong dan solidaritas. Di saat terjadi musibah atau kematian, masyarakat berkumpul tanpa diminta, membawa doa dan dukungan moral. Tradisi ini telah menjadi perekat sosial yang menguatkan rasa persatuan di tengah perbedaan suku, agama, dan golongan.


Nilai Demokrasi yang Bermartabat (Sila Keempat)

Tradisi tahlilan bukan kegiatan spontan tanpa arah. Ia dipandu oleh tokoh masyarakat, kyai, atau orang yang dituakan, yang memiliki otoritas moral dan spiritual. Adab dan etika dalam tahlilan menjadi penegas bahwa demokrasi dalam masyarakat NU bukan berarti kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang disertai tanggung jawab sosial dan spiritual.

Gus Ipul mengingatkan bahwa demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang sadar posisi dan sadar makna. Dalam tahlilan, semua pihak tahu kapan harus bicara, kapan mendengar, dan bagaimana menyampaikan sesuatu dengan penuh hikmah. Nilai-nilai ini, jika dihidupkan dalam kehidupan berbangsa, akan membawa Indonesia pada demokrasi yang bermartabat.


Keadilan Sosial yang Tersirat dalam Tradisi (Sila Kelima)

Menurut Gus Ipul, tahlilan memberikan contoh konkret tentang keadilan sosial. Pemberian oleh shohibul bait tidak dibakukan, melainkan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Tidak ada paksaan, tidak ada penilaian. Para tamu juga tidak menilai besar kecilnya pemberian, karena yang utama adalah doa dan keikhlasan.

Keadilan dalam tradisi ini adalah keadilan yang memperhitungkan konteks dan kemampuan. Konsep ini, jika diterjemahkan dalam sistem sosial dan kebijakan publik, akan menciptakan masyarakat yang lebih berempati dan memahami bahwa keadilan bukan berarti kesamaan, tetapi keadilan berarti kesetaraan dalam kesempatan dan pengakuan terhadap kondisi masing-masing.


Tradisi sebagai Pilar Kebangsaan

Pesan yang disampaikan Gus Menteri dalam pelantikan PC NU Kabupaten Temanggung bukan hanya sebuah ajakan untuk mempertahankan tradisi, melainkan juga peringatan agar bangsa ini tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri. Di tengah arus globalisasi yang membawa banyak perubahan dan tantangan baru, tahlilan adalah bentuk perlawanan terhadap dehumanisasi dan individualisme yang mengikis kebersamaan.

NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia telah membuktikan bagaimana tradisi dapat menjadi medium transformasi sosial yang efektif. Dari tahlilan, kita belajar tentang solidaritas, ketulusan, kesetaraan, dan nilai spiritual yang membumi.

Tahlilan bukan hanya kegiatan spiritual, tetapi juga kegiatan sosial, politik, dan kultural. Ia menjadi perwujudan konkret dari Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, menjaga dan merawat tahlilan sama artinya dengan menjaga dan merawat Indonesia.


Penutup

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu merawat warisan luhur budayanya sambil terus bergerak maju menyesuaikan zaman. Tradisi tahlilan adalah salah satu warisan yang tidak boleh hilang ditelan modernisasi. Ia harus terus dihidupkan dengan semangat pembaruan yang tidak meninggalkan substansi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Sebagaimana pesan Gus Ipul, tahlilan adalah penjaga nilai-nilai Pancasila yang hidup dalam praktik masyarakat, bukan dalam teori. Selama tahlilan tetap dijaga, selama itu pula Pancasila tetap membumi dan Indonesia tetap tegak berdiri. (Oleh: Bagus Pinuntun)

Salam MWC NU Kedu

Maju, Modern dan Maslahat.

Post a Comment

أحدث أقدم